24 April 2008

Laskar Pelangi Untuk Pendidikan Kita


Pernahkah anda mendengar tetralogi Laskar Pelangi?

Sebuah karya sastra yang amat menggunggah nurani. Betapa tidak hati kita tersentuh ketika membaca perjuangan sebuah sekolah kampong yang sudah reyot bisa tetap berdiri tegak diatas kakinya sendiri. Mempertahankan eksistensinya agar tetap bisa menjadi bagian dari yang memajukan Tanah Belitong. Hanya mengandalkan 10 siswa dengan kreativitas tinggi yang beragam, mereka tetap berjuang melawan kenyatan bahwa telah banyak sekolah yang 10x jauh lebih bagus dari sekolah mereka. Jauh lebih bagus? Apanya yang jauh lebih bagus? Bangunannya? Boleh jadi iya…

Tapi tidak dengan mentalnya…!!!

Tidak seperti sekolah reyot yang diceritakan dalam buku ini. Bila boleh saya gambarkan, sekolah yang diceritakan oleh Andrea Hirata selaku pengarang hebat (God JobJ…) dalam buku ini, adalah sekolah dengan bangunan reyot namun penghuninya bermental kuat. Tidak seperti sekolah kebanyakan, yang memiliki bangunan kuat, namun penghuninya bermental reyot.

Saya rasa, buku ini bisa menjadi motivator bagi para petinggi pendidikan, bagaimana seharusnya mereka mengambil sikap atas pendidikan dinegeri ini. Jangan hanya memperluas bangunan sekolah saja, tapi perluaslah akhlak dan pengetahuan anak didik kita. Perkuat mental anak didik kita agar lebih siap menerima segala fakta yang ada dalam pendidikan kita saat ini.

Tidak seperti yang sekarang terjadi. Dimana letak mental anak didik kita ketika mendengar nilai batas lulus Ujian Akhir Nasional negeri kita mematok kepala lima?? 80% anak didik kita mengemukakan keluhannya. Mengeluh…. Apakah seperti itu mental yang ditanamkan dalam pendidikan kita?? Seharusnya tidak demikian. Lalu, mengapa yang terjadi demikian?? Dimana letak kesalahannya??

Mari kita kaji bersama.

Sangat jarang sekali saya mendengar siswa berkata seperti ini, “yaaah..kok cuman 5?? Ngece… Saya bisa dapat 8…!!!”

Padahal seperti itu yang yang seharusnya terjadi. Mereka mengemukakan alasan klasik mereka. Itu kan yang buat soalnya dari pusat. Jadi susah-susah.

Pertanyaan yang langsung muncul dibenak saya, memang orang-orang dipusat buat soalnya dari mana??

Bukankah orang-orang yang berada di pusat pun membuat soalnya dengan bercermin dari daerah-daerah, dan bukan dari Hongkong???!!!??

Jika saya cermati, mereka yang mengeluhkan nilai minimal UAN itu adalah mereka dari sekolah-sekolah yang lumayan memiliki fasilitas lengkap. Masih kurang kah? Ah, manusia memang tidak pernah merasa puas. Manusiawi. Apa tidak malu, mereka gentar hanya dengan nilai 5 itu?? Kalau iya, mengapa harus gentar?? Apa yang dilakuakan mereka dengan fasilitas-fasilitas itu? Memangnya tidak dimanfaatkan untuk belajar, ya? Apa hanya dipajang saja?

Kembali ke tetralogi Laskar Pelangi. Anak-anak kampong itu, jelas bersekolah disebuah sekolah yang amat jauh dari kelengkapan fasilitas sekolah. Tapi, mereka mampu menunjukan kalau mereka bisa memaksimalkan prestasi mereka dengan fasilitas yang amat minimal. Kapur hilang satu batang saja dipertanyakan.

Oh My God…!!!

Mari kita renungkan bersama. Apa yang terjadi dengan pendidikan kita… ini tugas kita selaku insan pendidikan. Bersama-sama kita cari jalan keluar. Jangan hanya menyalahkan pemerintah saja. Ini tugas semua orang yang merasa peduli pada pendidikan, khususnya bagi anda yang sudah bisa berdiri tegak karena pendidikan.

Tidak ada komentar: