13 Desember 2007

Hidup itu antara 2 pilihan...

yupz...bener sekali...
ketika hidup, kita dihadapkan pada 2 pilihan...
baik atau
buruk?
benar at
au salah?
ini atau
itu?
bahagia a
tau bersedih?
kita yang
menjalani dan kita juga yang harus memilih...
hari in
i aku kembali dihadapkan pada 2 pilihan...
terus berjalan dan menatap kedepan dengan belajar dari kesalahan ini...

atau menghentikan semuanya hanya sampai disini???
ah...sudah saatnya bersikap bijak...
terus melangkah dan menatap kedepan dengan berharap selalu mendapat yang paling baik...itu yang aku pilih..


09 Desember 2007

kangeeeen.....

kalian dimana n sedang apa????
waduh aku kangen banget pengen ngumpul bareng kalian..............
hehehe....pdhl baru ketemu kemaren Idul Fitri ya....
tapi ko kangen banget ya???
kayaknya sms-an aj ga cukup buat ngobatin kangen aku sm kalian....

---kangeeeeeeeeen...................

Filosofi Kopi


Tahu buku itu kan?
bukunya dee...
Pasti tau ah...Nah...buat siapa aja yg punya buku itu....
Please...aku pinjem ya..
sebentar aja ko..
mau susan baca...susan baru baca awalnya...
bagus banget...
susan belum selesai baca..
pinjem ya...

05 Desember 2007

"hope get the best in december.."

Hhhhhhh.....
akhirnya desember datang juga...
bulan kemaren banyak yang mengganggu pikiran susan...
kesel, sebel, jenuh, bahkan susan rasanya depresi dengan semua yang terjadi di november.
That's november rain.....!!!!
Tepat sekali...!!!
Ya......

hope get the best in december...

"Maafku untukmu..."

Dengan wajah lelah dan sedikit tertunduk aku melangkahkan kakiku menuju pemberhentian bus. Ah, malas sekali rasanya mengangkat muka ini. Lagi pula wajahku tidak secantik Jennifer Lopez atau Tamara Blezinsky.

Aku hanyalah gadis biasa yang datang dari desa ke kota ini untuk menuntut ilmu. Sebab orang bilang, kota ini adalah kota pendidikan. Mungkin karena alasan itulah orangtuaku bersedia menyekolahkan aku dikota ini. Sebenarnya bukan itu alasan satu-satunya. Inilah masalahku.

Hari itu kuliah hanya setengah hari. Aku sedikit bersyukur, karena dengan begitu aku mempunyai banyak waktu luang untuk beristirahat. Beristirahat??? Mengistirahatkan apa? Justru aku selalu bingung jika sendiri. Terkadang aku tidak bisa mengendalikan pikiranku jika sendiri. Banyak yang aku pikirkan. Tak jarang itu semua membuatku pusing. Ku tengok arloji yang kupakai ditangan kiriku. Kala itu waktu masih menunjukkan pukul 12. 05. Aku pun memutar badanku dan kembali melangkahkan kakiku kedalam bangunan megah itu, tepatnya ke perpustakaan universitasku. Kulangkahkan kakiku menuju mushola perpustakaan untuk sejenak menghadap-Nya. Didalam mushala yang bersih dan luas itu aku melihat sosok yang sudah tak asing dimataku.

”belum pulang? Mau cari buku ya” tanyanya padaku.

”Iya, mbak. Mau lihat-lihat siapa tau ada buku baru.” jawabku seraya tersenyum. Entahlah, sebenarnya aku pun bingung dengan apa yang akan kulakukan siang itu. Yang jelas, aku tidak mau membiarkan pikiranku melayang tak karuan.

”Mbak mau cari buku juga?” tanyaku padanya.

”Ah nggak. Aku lagi nunggu temanku jemput.” jawabnya dengan wajah tersipu.

”teman apa teman...???” godaku.

Ah, kamu ini senengannya godain orang.” ujarnya sambil menyubit pinggangku.

Beliau adalah kakak angkatanku. Dulu ia banyak membantuku saat kegiatan ospek. Karena itulah aku cukup dekat dengannya.

Tak lama setelah sembahyang, aku kembali melangkahkan kakiku kedalam perpustakaan yang sangat luas itu. Kulayangkan pandanganku pada buku-buku yang tertata rapi dihadapanku. Ah, rasanya malas untuk membaca hari ini. Aku pun membelokkan badanku menuju sebuah ruangan yang menyediakan fasilitas internet. Aku ingin tau ada kabar apa di dunia maya hari ini. Inilah yang aku suka. Hal yang dapat mengalihkan pikiranku dari rasa jenuh. Mungkin bukan satu-satunya hal yang membuat aku senang. Tapi, duduk berlama-lama didepan komputer, apalagi dengan fasilitas internet adalah salah satu hal yang paling aku suka. Aku tidak pernah merasa bosan dengan hal ini. Bisa dibilang, ini juga yang bisa mengalihkan pikiranku dari hal yang selalu aku pikirkan itu.

Oh Tuhan...aku ingat lagi semua itu. Aku tidak mau memkirkan itu sekarang...Aku berusaha mengalihkan pikiranku pada komputer dihadapanku. Ah, tetap tidak bisa. Mengapa begini? Biasanya aku tidak pernah ingat semua itu disaat-saat seperti ini.

Baiklah, aku menyerah. Ku tekan menu log off dilayar komputer. Aku pun bergegas meninggalkan ruangan itu. Ini adalah pertama kalinya aku keluar dari ruangan itu kurang dari setengah jam. Pikiranku terus berputar-putar dalam masalah itu. Ketika berada dalam bis kota, aku terus berusaha mengalihkan pikiranku. Ah, tetap tidak bisa.

Okay...Baiklah...Aku menyerah. Bagaimana pun juga aku harus memikirkan hal itu. Itu adalah masalahku. Tapi, terus-terusan memikirkan hal itu hanya membuatku jenuh dan lelah, bahkan tak jarang aku kehilangan semangat.

Pikiranku tertuju pada kedua orangtuaku. Mereka dan aku setahun yang lalu. Saat aku lulus dari sekolah menengah dan akan melanjutkan ke perguruan tinggi.

Aku anak kedua dari tiga bersaudara. Kakakku adalah seorang mahasiswa tingkat akhir di sebuah universitas dikabupatenku. Adikku, dia kini duduk dikelas satu sekolah menengah kejuruan. Dan kedua orangtuaku hanyalah pegawai negeri biasa, yang mungkin perlu berfikir berulang-ulang kali untuk dapat menyekolahkan anak-anaknya hingga perguruan tinggi. Jangankan tiga orang anak, satu orang saja bisa bersekolah di perguruan tinggi sudah cukup luar biasa. Itu pun hanya di perguruan tinggi biasa di kabupatenku. Yang terjadi dikeluargaku, ini adalah masalahku.

Seperti yang sudah kukatakan tadi, aku hanyalah anak yang berasal dari keluarga pra-sejahtera yang hanya bisa menyekolahkan anak-anaknya di perguruan tinggi biasa. Tapi, yang terjadi padaku bukan seperti itu. Aku kini berstatus mahasiswa sebuah universitas elite di kota yang disebut-sebut orang sebagai kota pendidikan.

Pikiranku masih terus tertuju pada kedua orangtuaku. Mereka dan aku setahun yang lalu. Saat aku lulus dari sekolah menengah dan akan melanjutkan ke perguruan tinggi. Kala itu mereka menawarkan aku untuk bersekolah di perguruan tinggi yang sebenarnya bukan impianku. Sekuat tenaga aku menolak secara halus, dan secara tidak langsung mengatakan pada mereka kalau aku ingin besekolah di universitas ini, universitas dimana aku berada saat ini. Inilah impianku. Aku terus berusaha mencari segala informasi tentang universitas ini kala itu. Kucari berbagai peluang agar namaku bisa tercatat sebagai mahasiswa di universitas ini, tanpa sepengetahuan mereka. Itu yang aku lakukan setahun yang lalu. Aku tau, mereka pasti akan bangga jika aku bisa bersekolah disini. Dua hal yang membuat mereka sedikit berat menyekolahkanku disini. Pertama, biaya yang harus dikeluarkan mereka untuk menyekolahkanku disini tidak sedikit. Perlu merogoh kocek agak banyak untuk dapat bersekolah disini. Kedua, mereka agak keberatan jika aku harus meninggalkan desaku. Mungkin itu yang dinamakan khawatir. Mengingat aku adalah anak perempuan mereka satu-satunya.

Aku tahu Tuhan sangat sayang padaku. Dia mendengar do’aku...Segala yang kuusahakan kala itu mendapat jalan. Universitas ini membuka seleksi tanpa test. Dengan segenap jiwa dan semangat yang ada dalam diriku saat itu, aku langsung mendaftarkan diriku, masih tanpa sepengetahuan orangtuaku. Dengan semangat bak pejuang zaman perang kemerdekaan dulu, aku mengurus segala yang diperlukan untuk dapat menuliskan namaku sebagai mahasiswa universitas ini. Aku yakin Tuhan sangat sayang padaku. Do’aku dikabulkan-Nya. Namaku terjaring dalam seleksi itu. Aku sangat bersyukur...Terimakasih Tuhan...

Aku begitu bahagia kala itu. Tapi, kebahagiaanku kemudian sirna ketika aku ingat kedua orangtuaku yang kurang merestuiku bersekolah disini. Setengah mati aku kebingngan mencari cara yang tepat untuk memberitahu kabar bahagia ini, bagiku tepatnya dan mungkin tidak bagi mereka. Ah, aku hampir lupa kalau mereka kurang setuju dengan semua ini.

Ku kerahkankan semua keberanianku kala itu. Aku bisa sedikit menghela nafasku ketika kutemukan mereka tidak ada dirumah kala itu. Oh, rupanya mereka masih mengajar dan belum pulang. Rasa bahagia yang tak terhingga ketika itu membuat aku lupa kalau saat itu waktu masih menunjukkan pukul 11.oo. Dengan gelisah aku menunggu kedatangan mereka. Detik demi detik kuhitung, hingga akhirnya yang kutunggu-tunggu tiba. Kembali ku kerahkan semua keberanianku. Perlahan kusampaikan berita itu, kuutarakan maksudku. Aku menangkap sedikit raut bahagia diwajah mereka. Namun, raut bahagia itu tertutup awan kelabu yang lebih mendominasi. Aku kembali kebingungan menanti jawaban mereka. Kuusap keningku yang berkeringat. Sebenarnya udara saat itu tidak panas, malah kala itu agak mendung dan hampir hujan. Tapi aku tetap berkeringat.

Ketika mereka mulai membuka mulutnya, jantungku semakin berdetak kencang. Dan tubuhku sesaat melemas kala aku mendengar kata ”tidak” keluar dari bibir orang yang selalu kuhormati selamanya.

Sekuat tenaga pula aku berusaha meyakinkan mereka agar aku bisa seperti saat ini. Ketika mereka mengemukakan keberatannya karena masalah biaya, aku pun meyakinkan mereka kalau semua kembali pada rezeki yang diberikan Tuhan. Dengan pengetahuan agama yang aku miliki, aku yakinkan mereka kalau Tuhan akan selalu mengalirkan rizki-Nya. Terus kuyakinkan mereka. Setiap makhluk ciptaan-Nya telah dibekali rizky masing-masing.

Aku dan kedua orangtuaku hanya terdiam ketika itu. Aku tertunduk tak kuasa menatap mata kedua orang yang sudah tua dan menyayangi aku selama ini. Kuperhatikan mereka baik-baik. Aku melihat sesosok lelaki tua dengan bahu yang sedikit kurus dan terbungkuk. Bahu yang dulu kekar itu, kini legam terbakar matahari. Tangan yang dulu kuat, yang selalu mengangkat tubuh kecilku, kini telah lemah. Kuperhatikan pula sosok seorang wanita tua yang duduk disampingnya. Wanita tua dengan keriput di tulang pipinya yang menggambarkan perjuangan hidupnya selama ini.

Kutunggu tanggapan mereka selanjutnya. Hening...hening sekali ketika itu. Hingga akhirnya keheningan itu terpecah oleh suara bapakku yang agak serak.

Ucapannya ketika itu masih kuingat sampai saat ini.

”Kami khawatir sama kamu, nak...”ucapnya ketika itu.

Ibuku menguraikan kekhawatirannya dengan lebih jelas. Dan aku pun sesaat terdiam dan membisu, hingga akhirnya bibir ini berkata dengan lemah.

”Aku dapat menjaga diriku baik-baik...”

Oh Tuhan...aku berani menjawab ucapan mereka. Lancangkah?

Maafkan aku, pak...bu...

Aku hanya ingin mengejar mimpiku...

Kala itu pembicaraan berakhir dengan keputusan yang masih menggantung. Mataku tidak dapat terpejam malam itu. Satu...dua...dan tiga hari...mereka tidak memberikan jawaban atas permintaanku ini. Bahkan mereka terkesan menghindari aku. Mungkin bukan aku yang mereka hindari, tapi jawaban atas tuntutanku. Dan aku pun tak berani mempertanyakannya.

Maafkan aku, pak...bu...

Hari kelima setelah pembicaraan menegangkan itu. Ketika aku hendak mengambil air wudlu, kulihat ibuku tengah membuatkan secangkir kopi untuk bapak. Dalam hati aku berharap ibu memanggilku dan mengatakan ”iya” atas permintaanku lima hari lalu. Tapi ternyata tidak. Semuanya masih datar, belum ada jawaban. Sampai ketika aku tengah membaca buku didalam kamarku, bapak datang menghampiriku. Entah darimana awal pembicaraan itu, hingga akhirnya aku mendengar kata “iya” keluar dari bibirnya. Aku benar-benar bahagia dan hampir tak percaya. Benarkah mereka memberiku izin? Oh Tuhan, inikah jawabannya? Terimakasih Tuhan...

Kala itu aku sungguh bahagia. Sampai hampir tiba hari keberangkatanku kekota pendidikan ini. Kusiapkan segala sesuatunya. Ku kemas pakaianku, izajah dan surat-surat penting lainnya. Tepat satu hari sebelum keberangkatanku, aku hampir tak percaya dengan apa yang baru saja aku lihat. Ketika seorang yang dikenal sebagai juragan tanah dikampungku datang menemui bapak. Aku curiga dengan kedatangannya saat itu. Berkali-kali kutengok ke teras depan, sambil berusaha mencuri dengar pembicaraan mereka. Tak lama aku melihat orang itu memberikan sejumlah uang pada bapak. Dan barulah aku sadari kalau bapak telah menjual sawahnya pada lelaki itu. Sepetak sawah warisan dari kakekku.

Maafkan aku, pak...bu...

Sempat terbesit dalam hatiku untuk mengurungkan niatku mengambil kesempatan bersekolah di universitas yang ku impikan ini. Dengan suara pelan kutanyakan pada bapak tentang hal itu.

”Mungkin ini rizki kamu, nak...”jawab bapak sambil tersenyum padaku kala itu.

­­­_ _ _

Aku sudah mulai bisa memaafkan diriku atas peristiwa penjualan sawah bapak ketika itu. Hatiku sudah bisa menerima seperti yang dikatakan bapak, kalau ini mungkin memang rizki-ku. Sampai akhirnya aku pulang ketika libur semester lalu, sebuah peristiwa kembali menghenyakkan hatiku. Ketika aku mengantar ibu kepasar, tiba-tiba ibu masuk kesebuah toko mas. Kupikir, ibu akan membeli kalung atau cincin kala itu. Aku pun tersenyum. Tapi bukan itu yang aku lihat. Justru sebaliknya, aku melihat ibu menyerahkan kedua cincinnya pada pelayan toko mas itu, dan menukarnya dengan sejumlah uang. Hatiku kembali terpukul. Lagi-lagi aku melihat peristiwa seperti ini. Cincin yang melingkar menghiasi jari ibu beberapa detik lalu, kini sudah tiada dan berganti dengan sejumlah uang yang keesokan harinya diberikan padaku ketika aku hendak kembali kekota pendidikan ini.

Oh Tuhan...seperti inikah???

Apakah aku telah menyiksa kedua orang tuaku seperti ini?

Ya Tuhan, apakah aku telah durhaka??

Berdosakah aku yang begitu banyak menuntut pada mereka?

Maafkan aku, pak...bu...

Aku hanya ingin mengejar mimpiku...

Entah apalagi yang terjadi setelah aku kembali kekota ini tiga bulan lalu. Inilah masalahku, yang selalu memenuhi otakku. Dan entah sampai kapan aku bisa berhenti memikirkan semua ini. Mungkin aku akan selalu ingat semua ini selamanya. Dalam bis yang penuh sesak ini, aku kembali mengingat semua ini. Kudengar bunyi sms dari ponsel tipe dulu milikku. Kubuka dan kubaca dilayar ponsel itu tertulis sebuah pesan pendek dari adikku,

Kata bapak tadi sudah ditransfer uang.

Seperti itu yang tertulis dilayar ponselku. Setelah membaca pesan pendek itu, aku tersenyum miris. Dalam hati aku bertanya,

Apa lagi yang ibu dan bapak jual untuk mengirimkan uang ini padaku?

Kemudian kembali kubuka pesan tadi, dan kutekan menu balas. Kutulis pesan balasan,

Dek, bilang bapak dan ibu terimakasih...salam untuk semua...

Oh Tuhan...aku kesal dengan semua ini...!!! Aku benci terus-terusan memikirkan hal ini. Tapi ini harus aku pikirkan. Ini masalahku.

Maafkan aku, pak...bu...

Aku hanya ingin mengejar mimpiku...